Free Latihan

Monday, February 24, 2014

Indahnya Burni Telong, Lalainya Pemda

KAWASAN Pegunungan Burni Telong di Bandar Lampahan Timang Gajah, Bener Meriah, sore itu berkabut. Rintik-rintik hujan masih membasahi tanah. Sekelompok pemuda yang tergabung dalam Tim Pecinta Alam Bener Meriah sudah bersiap-siap bergerak. Tujuan mereka hari itu adalah menelusuri keindahan Gunung yang aktivitas vulkaniknya semakin meningkat pasca Gempa Tsunami melanda Aceh silam.
Sebenarnya, selain Burni Telong, di Bener Meriah terdapat empat gunung berapi. Di antara gugusan itu adalah Gunung Gereudong yang sudah pernah meletus dan kini dalam kondisi pasif. Sedangkan gunung berapi Burni Telong, adalah gunung yang pernah aktif dan meletus puluhan tahun lalu.
Jika Anda pernah melintas di sana. Jangan kaget kalau gunung ini tepat berada di ketinggian 2.600 meter di atas permukaan laut. Dan, hanya berjarak lima kilometer dari Redelong, Ibukota Bener Meriah. Burni Telong dalam bahasa Indonesia diartikan: Gunung yang terbakar.
Sebenarnya, ada beberapa jalur untuk menempuh puncak Burni Telong. Salah satunya, melalui jalur Edelwais. Dinamakan Edelwais, karena di sepanjang jalur itu ditumbuhi bunga Edelwais yang oleh masyarakat Gayo dipercayai sebagai bunga abadi.
Sabtu, 03 Januari 2009. Tepat pukul 14.30 WIB, dipimpin Agung (23), media ini bersama tim kecil berjumlah 7 (tujuh) orang, memulai perjalanan menujuk puncak Gunung Burni Telong walau dalam kondisi lembab. Perjalanan menuju puncak Burni Telong harus melewati perkebunan masyarakat sebelum mencapai kaki gunung. Setelah 20 menit berlalu, akhirnya kami berada tepat dibawah kaki Burni Telong yang merupakan kawasan hutan lindung.
Sayang, kebun-kebun masyarakat yang berada di kaki Burni Telong itu, ternyata telah merambah wilayah hutan lindung. Jika melihat usia tanaman diperkebunan masyarakat setempat, sangat jelas bahwa kawasan hutan lindung telah diserobot sejak lama.
Parahnya, kondisi ini tidak mendapatkan perhatian serius dari Pemerintah Bener Meriah. Bukan hanya itu, pada pertengahan 2008 lalu, pemerintah setempat justru mendukung penanaman jagung seluas 220 hektare, persis di kawasan hutan lindung, kaki gunung berapi Burni Telong di Kecamatan Wih Pesam. Alasan Pemkab Bener Meriah waktu itu, penanaman jagung tadi akan melibatkan 20 kelompok tani Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) dengan tujuan untuk mengentaskan kemiskinan di daerah tersebut.
Kondisi kaki Burni Telong memang tragis. Sisa-sisa pohon pinus teronggok kering akibat ulah masyarakat. Sepertinya, kesadaran untuk melindungi hutan lindung belum manjadi bagian dari hidup. Begitupun Pemerintah Bener Meriah, seakan tidak peduli dengan kondisi ini.
Kerusakan ini diakui Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan Bener Meriah, Ir Darussalam. Saat di temui media ini, dia mengatakan. Kawasan hutan di kaki gunung berapi Burni Telong sudah mengalami kerusakan sangat parah. Bayangkan, lebih 80 persen hutan pinus rusak akibat perambahan hutan sejak tahun 1999 hingga sekarang.
Setelah istirahat sejenak, kami pun segera melanjutkan perjalanan menuju puncak gunung. Medan yang harus kami lewati sedikit berat, karena jalan setapak yang kami lalui begitu terjal dan licin akibat hujan yang tak kunjung reda. Sikap ektra hati-hati mau tidak mau harus dilakoni.
Perjalanan melewati hutan menuju puncak merapi Burni Telong kami lewati selama dua jam perjalanan. Tepat jam 18.05 WIB, kami beristirahat sejenak di satu lembah Burni Telong. Karena, perjalanan selanjutnya lebih terjal dari track yang kami lalui saat menuju lembah.
Beberapa anggota tim yang belum pernah ke Burni Telong (termasuk media ini—red)  sempat terpaku sejenak. Tapi, karena gairah untuk menuju puncak sudah memuncak, tantangan yang lumayan ekstrim itu mau tidak mau harus kami lalui.
Kabut semakin tebal. Udara dingin mulai menusuk tulang saat adzan maghrib terdengar dari kejauhan. Setelah beristirahat untuk menunaikan shalat Maghrib, dengan perlengkapan lampu senter, kami melanjutkan perjalanan yang masih setengah Burni Telong.
Tepat pukul 19.00 WIB. Agung, selaku ketua tim memutuskan untuk beristirahat dan mendirikan tenda di sebuah tempat, yang menurut Unen (23), pemuda asal Kampong Suka Makmur, adalah gua per-istirahatan. Unen, sudah beberapa kali melakukan pendakian ke Burni Telong.
Selesai mendirikan tenda, suhu udara semakin menurun. Dinginnya Burni Telong memaksa kami memakai jacket lebih dari satu lapis. Dingin yang luar biasa itu, membuat kami tak mampu untuk tidur. Gigi saling menggerutuk, menahan dingin. “Bagaimana kita bisa tidur jika dinginnya seperti ini,” ujar salah salah satu anggota tim. Api unggunlah satu-satunya yang bisa menghangatkan badan.
Untuk mengisi kekosongan perut ditengah dinginnya malam, kami mencoba berbagi cerita dan pengalaman masing-masing hingga adzan shubuh berkumandang. Salah seorang anggota tim mengatakan. Burni Telong pernah meletus dan membakar seluruh perkampungan di sekitarnya. Kejadian itu sekitar 82 tahun silam, tepatnya 7 Desember 1924.
Nah, saat gempa tsunami mengguncang Aceh pada akhir Desember 2004 silam, warga Bener Meriah merasa ketakutan. Maklum, bebatuan dari Gunung Burni Telong berjatuhan menimbulkan suara gemuruh yang besar. Masyarakat saat itu khawatir bila gempa itu telah membangunkan Burni Telong dari tidur panjangnya.
Kekhawatiran itu ternyata tidak meleset. Menurut Puji (20), salah satu anggota tim yang ikut bersama kami. Hasil penelitian tim ahli vulkanologi dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (PPPG) Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral RI, Mei 2005 lalu menyebutkan. Aktivitas gunung berapi Burni Telong, semakin meningkat menyusul gempa dan tsunami yang melanda Aceh akhir Desember 2004 lalu. Peningkatan aktivitas itu antara lain ditandai adanya perubahan kondisi geokimia, biokimia, suhu, air, lingkungan, dan beberapa fenomena alam di sekitar gunung berapi.
Tak terasa, adzan subuh pun berkumandang. Dentingan waktu terus berjalan, cahaya langit mulai berganti di ufuk timur. Namun dingin masih menusuk tulang-tulang kami. Kami bergegas memperbaiki tenda, karena perjalanan menuju puncak Burni Telong segera dilanjutkan, Minggu, 4 Januari 2009.
Luar biasa! Decak kagum kami saat melihat hamparan Burni Telong dalam perjalanan pagi itu. Permukaan Burni Telong dipenuhi bunga warna warni. Salah satunya jenis edelwais (bunga abadi). Begitu luasnya hamparan berbagai jenis  bunga itu, seolah-olah sengaja ditanam dengan rapi untuk menyambut para pendaki.
Tanpa terasa, akhirnya kami sampai juga di puncak Burni Telong. Lagi-lagi pemadangan luar biasa terpampang luas dihadapan kami. Kabupaten Bener Meriah  terlihat dengan jelas dari sini.
Di puncak Burni Telong, kami mencoba melihat lebih dekat lubang pernapasan kawah yang menandakan gunung itu masih aktif. Asap hangat menerpa tubuh-tubuh kami. Rasa dingin yang sejak semalam kami rasakan pun mulai berkurang.
Namun begitu, keindahan alam yang kami peroleh semua terganggu oleh kondisi puncak Burni telong yang tidak terawat. Khususnya apa yang ditinggalkan para pendaki sebelumnya. Sampah-sampah makanan berserakan dimana-mana, kondisi ini tentu mengurangi kenyamanan.
Belum lagi masalah longsor. Tidak sedikit bagian puncak Burni Telong yang longsor. Menurut informasi yang di peroleh dari masyarakat di sekitar kaki Burni Telong. Longsor itu terjadi saat Gempa Tsunami melanda Aceh akhir tahun 2004 lalu. Dan, longsor it uterus berlanjut hingga saat ini.
Akhirnya, setelah kami puas menikmati puncak Burni Telong, kami harus kembali. Untuk menunaikan kehidupan kami seperti biasanya. Meninggalkan Burni Telong. Rasa haru, decak kagum hingga kini tidak mungkin kami lupakan. Hamparan bunga, suhu yang luar biasa dingin, menjadi kenangan tersendiri.
Sayangnya, keindahan dan potensi Burni Telong hingga kini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh Pemkab Bener Meriah. Seandainya Pemkab Bener Meriah bisa melihat prospek Burni Telong, tentu akan dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan akan menyerap tenaga kerja masyarakat.
Pemerintah Bener Meriah sepertinya tidak mempedulikan kondisi ini. Jangankan untuk menertibkan masalah perambahan hutan lindung. Malah,  Pemerintah setempat justru akan membuka kebun jagung di areal hutan lindung tadi. Alasannya sederhana sekali, untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakat miskin.***

No comments:

Dunia Kita