Free Latihan

Monday, February 24, 2014

Hilangnya Sang Lautan Jenazah

Banda Aceh, Selasa, 4 Agustus 2009. Tepat Pukul 10.00 Wib, Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar, baru saja membuka agenda pameran foto dan lukisan di Gedung Museum Tsunami sebagai rangkaian Pameran Kebudayaan Aceh (PKA) 5.
Beberapa karya lukis tentang tsunami yang dibuat para pelukis kenamaan Aceh seperti Mahdi Abdullah, Round Kelana, Syahirman, Kemlawati, M Saleh Karim, Said Rabadian, dan Said Akram itu tarpajang rapi pada salah satu ruangan di gedung Museum Tsunami. Ada 15 buah lukisan yang dipamerkan.
Sambil mengamati lukisan-lukisan itu, saya mencoba mencari sebuah lukisan yang dibuat oleh salah seorang pelukis jalanan Aceh. Namun saya tidak menemukan lukisan tersebut .
Diantara lukisan-lukisan itu, saya seperti kembali melihat wajah Supriadi. Malam itu, Jum’at, 20 Juni 2009. Supriadi melemparkan semua keluh kesahnya sebagai pelukis. Bagaimana Ia menggoreskan cat minyak diatas kanvas, dari lautan jenazah yang memenuhi Banda Aceh pasca tsunami hingga menuju Istana Presiden di Jakarta untuk menyerahkan hasil karyanya kepada presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
“Lukisan itu berjudul Lautan Jenazah,” kata Supriadi kepada saya.
Malam itu, dengan cekatan lelaki 38 tahun tersebut mengeluarkan dua buah sertifikat dari sebuah amplop berwarna coklat dan menyerahkan kepada saya, bahwa lukisan Lautan Jenazah benar-benar ada. Kedua sertifikat itu berstempel Istana Presiden dan Museum Indonesia atas lukisan Lautan Jenazah yang dibawanya ke Jakarta dengan air mata.


Ditemani secangkir teh hangat, ia hanya memandang bintang di angkasa bersama malam yang terus menanjak. Asap rokok terus menerus menyembul dari bibirnya.

Setelah memejamkan kedua matanya, ia mulai bercerita perjalanan hidupnya bersama lukisan Lautan Jenazah. Malam panjang yang selalu dilaluinya untuk mencari jalan keluar untuk menyiapkan keberangkatannya ke Jakarta, Istana Negara Kepresidenan. “Kamana lagi harus meminta dukungan,” ujarnya lirih dalam hati.
Bingung dan panik, demikian yang tengah dirasakan Supriadi saat itu. Undangan Presiden SBY merupakan cita-cita lama. Namun, saat cita-cita itu telah ada ditangannya, justru kegalauan yang dirasakannya.
Sebagai pelukis jalanan, Supriadi tentu bukanlah seorang seniman kaya. Apalagi, ia harus membiayai ketiga anaknya yang masih duduk di bangku sekolah, bukanlah perkara mudah mengumpulkan uang dalam waktu sekejap.
Akhirnya, setelah mendapat persetujuan sang istri, Supriadi menjual benda-benda berharga miliknya. Tidak lain untuk memenuhi undangan SBY. Menyerahkan “Lautan Jenazah”.

Indahnya Burni Telong, Lalainya Pemda

KAWASAN Pegunungan Burni Telong di Bandar Lampahan Timang Gajah, Bener Meriah, sore itu berkabut. Rintik-rintik hujan masih membasahi tanah. Sekelompok pemuda yang tergabung dalam Tim Pecinta Alam Bener Meriah sudah bersiap-siap bergerak. Tujuan mereka hari itu adalah menelusuri keindahan Gunung yang aktivitas vulkaniknya semakin meningkat pasca Gempa Tsunami melanda Aceh silam.
Sebenarnya, selain Burni Telong, di Bener Meriah terdapat empat gunung berapi. Di antara gugusan itu adalah Gunung Gereudong yang sudah pernah meletus dan kini dalam kondisi pasif. Sedangkan gunung berapi Burni Telong, adalah gunung yang pernah aktif dan meletus puluhan tahun lalu.
Jika Anda pernah melintas di sana. Jangan kaget kalau gunung ini tepat berada di ketinggian 2.600 meter di atas permukaan laut. Dan, hanya berjarak lima kilometer dari Redelong, Ibukota Bener Meriah. Burni Telong dalam bahasa Indonesia diartikan: Gunung yang terbakar.
Sebenarnya, ada beberapa jalur untuk menempuh puncak Burni Telong. Salah satunya, melalui jalur Edelwais. Dinamakan Edelwais, karena di sepanjang jalur itu ditumbuhi bunga Edelwais yang oleh masyarakat Gayo dipercayai sebagai bunga abadi.
Sabtu, 03 Januari 2009. Tepat pukul 14.30 WIB, dipimpin Agung (23), media ini bersama tim kecil berjumlah 7 (tujuh) orang, memulai perjalanan menujuk puncak Gunung Burni Telong walau dalam kondisi lembab. Perjalanan menuju puncak Burni Telong harus melewati perkebunan masyarakat sebelum mencapai kaki gunung. Setelah 20 menit berlalu, akhirnya kami berada tepat dibawah kaki Burni Telong yang merupakan kawasan hutan lindung.
Sayang, kebun-kebun masyarakat yang berada di kaki Burni Telong itu, ternyata telah merambah wilayah hutan lindung. Jika melihat usia tanaman diperkebunan masyarakat setempat, sangat jelas bahwa kawasan hutan lindung telah diserobot sejak lama.
Parahnya, kondisi ini tidak mendapatkan perhatian serius dari Pemerintah Bener Meriah. Bukan hanya itu, pada pertengahan 2008 lalu, pemerintah setempat justru mendukung penanaman jagung seluas 220 hektare, persis di kawasan hutan lindung, kaki gunung berapi Burni Telong di Kecamatan Wih Pesam. Alasan Pemkab Bener Meriah waktu itu, penanaman jagung tadi akan melibatkan 20 kelompok tani Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) dengan tujuan untuk mengentaskan kemiskinan di daerah tersebut.
Kondisi kaki Burni Telong memang tragis. Sisa-sisa pohon pinus teronggok kering akibat ulah masyarakat. Sepertinya, kesadaran untuk melindungi hutan lindung belum manjadi bagian dari hidup. Begitupun Pemerintah Bener Meriah, seakan tidak peduli dengan kondisi ini.
Kerusakan ini diakui Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan Bener Meriah, Ir Darussalam. Saat di temui media ini, dia mengatakan. Kawasan hutan di kaki gunung berapi Burni Telong sudah mengalami kerusakan sangat parah. Bayangkan, lebih 80 persen hutan pinus rusak akibat perambahan hutan sejak tahun 1999 hingga sekarang.
Setelah istirahat sejenak, kami pun segera melanjutkan perjalanan menuju puncak gunung. Medan yang harus kami lewati sedikit berat, karena jalan setapak yang kami lalui begitu terjal dan licin akibat hujan yang tak kunjung reda. Sikap ektra hati-hati mau tidak mau harus dilakoni.
Perjalanan melewati hutan menuju puncak merapi Burni Telong kami lewati selama dua jam perjalanan. Tepat jam 18.05 WIB, kami beristirahat sejenak di satu lembah Burni Telong. Karena, perjalanan selanjutnya lebih terjal dari track yang kami lalui saat menuju lembah.
Beberapa anggota tim yang belum pernah ke Burni Telong (termasuk media ini—red)  sempat terpaku sejenak. Tapi, karena gairah untuk menuju puncak sudah memuncak, tantangan yang lumayan ekstrim itu mau tidak mau harus kami lalui.
Kabut semakin tebal. Udara dingin mulai menusuk tulang saat adzan maghrib terdengar dari kejauhan. Setelah beristirahat untuk menunaikan shalat Maghrib, dengan perlengkapan lampu senter, kami melanjutkan perjalanan yang masih setengah Burni Telong.
Tepat pukul 19.00 WIB. Agung, selaku ketua tim memutuskan untuk beristirahat dan mendirikan tenda di sebuah tempat, yang menurut Unen (23), pemuda asal Kampong Suka Makmur, adalah gua per-istirahatan. Unen, sudah beberapa kali melakukan pendakian ke Burni Telong.
Selesai mendirikan tenda, suhu udara semakin menurun. Dinginnya Burni Telong memaksa kami memakai jacket lebih dari satu lapis. Dingin yang luar biasa itu, membuat kami tak mampu untuk tidur. Gigi saling menggerutuk, menahan dingin. “Bagaimana kita bisa tidur jika dinginnya seperti ini,” ujar salah salah satu anggota tim. Api unggunlah satu-satunya yang bisa menghangatkan badan.
Untuk mengisi kekosongan perut ditengah dinginnya malam, kami mencoba berbagi cerita dan pengalaman masing-masing hingga adzan shubuh berkumandang. Salah seorang anggota tim mengatakan. Burni Telong pernah meletus dan membakar seluruh perkampungan di sekitarnya. Kejadian itu sekitar 82 tahun silam, tepatnya 7 Desember 1924.
Nah, saat gempa tsunami mengguncang Aceh pada akhir Desember 2004 silam, warga Bener Meriah merasa ketakutan. Maklum, bebatuan dari Gunung Burni Telong berjatuhan menimbulkan suara gemuruh yang besar. Masyarakat saat itu khawatir bila gempa itu telah membangunkan Burni Telong dari tidur panjangnya.
Kekhawatiran itu ternyata tidak meleset. Menurut Puji (20), salah satu anggota tim yang ikut bersama kami. Hasil penelitian tim ahli vulkanologi dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (PPPG) Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral RI, Mei 2005 lalu menyebutkan. Aktivitas gunung berapi Burni Telong, semakin meningkat menyusul gempa dan tsunami yang melanda Aceh akhir Desember 2004 lalu. Peningkatan aktivitas itu antara lain ditandai adanya perubahan kondisi geokimia, biokimia, suhu, air, lingkungan, dan beberapa fenomena alam di sekitar gunung berapi.
Tak terasa, adzan subuh pun berkumandang. Dentingan waktu terus berjalan, cahaya langit mulai berganti di ufuk timur. Namun dingin masih menusuk tulang-tulang kami. Kami bergegas memperbaiki tenda, karena perjalanan menuju puncak Burni Telong segera dilanjutkan, Minggu, 4 Januari 2009.
Luar biasa! Decak kagum kami saat melihat hamparan Burni Telong dalam perjalanan pagi itu. Permukaan Burni Telong dipenuhi bunga warna warni. Salah satunya jenis edelwais (bunga abadi). Begitu luasnya hamparan berbagai jenis  bunga itu, seolah-olah sengaja ditanam dengan rapi untuk menyambut para pendaki.
Tanpa terasa, akhirnya kami sampai juga di puncak Burni Telong. Lagi-lagi pemadangan luar biasa terpampang luas dihadapan kami. Kabupaten Bener Meriah  terlihat dengan jelas dari sini.
Di puncak Burni Telong, kami mencoba melihat lebih dekat lubang pernapasan kawah yang menandakan gunung itu masih aktif. Asap hangat menerpa tubuh-tubuh kami. Rasa dingin yang sejak semalam kami rasakan pun mulai berkurang.
Namun begitu, keindahan alam yang kami peroleh semua terganggu oleh kondisi puncak Burni telong yang tidak terawat. Khususnya apa yang ditinggalkan para pendaki sebelumnya. Sampah-sampah makanan berserakan dimana-mana, kondisi ini tentu mengurangi kenyamanan.
Belum lagi masalah longsor. Tidak sedikit bagian puncak Burni Telong yang longsor. Menurut informasi yang di peroleh dari masyarakat di sekitar kaki Burni Telong. Longsor itu terjadi saat Gempa Tsunami melanda Aceh akhir tahun 2004 lalu. Dan, longsor it uterus berlanjut hingga saat ini.
Akhirnya, setelah kami puas menikmati puncak Burni Telong, kami harus kembali. Untuk menunaikan kehidupan kami seperti biasanya. Meninggalkan Burni Telong. Rasa haru, decak kagum hingga kini tidak mungkin kami lupakan. Hamparan bunga, suhu yang luar biasa dingin, menjadi kenangan tersendiri.
Sayangnya, keindahan dan potensi Burni Telong hingga kini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh Pemkab Bener Meriah. Seandainya Pemkab Bener Meriah bisa melihat prospek Burni Telong, tentu akan dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan akan menyerap tenaga kerja masyarakat.
Pemerintah Bener Meriah sepertinya tidak mempedulikan kondisi ini. Jangankan untuk menertibkan masalah perambahan hutan lindung. Malah,  Pemerintah setempat justru akan membuka kebun jagung di areal hutan lindung tadi. Alasannya sederhana sekali, untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakat miskin.***

Tradisi Lepat Gayo


chicio.blogspot.com
Tradisi masyarakat Gayo begitu banyak. Unik dan menarik. Jikalau ingin menlihat sebuah kehidupan budaya di Aceh, gayo menjadi salahs atu referensi utama.
Dataran tinggi Gayo, memiliki iklim yang dingin, terletak di ketinggian 1200 meter diatas permukaan laut. Kehidupan masyarakat disana tentu begitu menarik untuk di telisik. Walaupun, sebagian tradisi itu sudah mulai punah. Namun tetap masih ada, dan tidak sulit untuk menemui berbagai tradisi di Gayo.
Salah satunya adalah tradisi lepat gayo.
Lepat gayo adalah sebuah makanan khas di Gayo. Lepat tersebut biasanya dibuat saat menyambut hari-hari besar Islam. Seperti menjelang Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha.
Lepat Gayo kini tidaklah seperti dulu. Dahulu, lepat gayo sering dijadikan bahan makanan tambahan, sehingga setiap rumah masyarakat akan selalu ada lepat gayo, walau lebaran telah berlalu hingga empat bulan.
Lepat gayo di gantung diatas perapian atau para-para dapur. Lepat gayo itu tidak membusuk, dan tetap terbungkus rapi oleh daun pisang. Perubahan utama hanya pada warna daun dan lepat yang sudah mengeras.
Nah, Lepat Gayo itu, sering menjadi hidangan utama masyarakat gayo di kala pagi, malam atau sore hari, ditemani segelas kopi khas gayo yang mahsyur.
Lepat gayo yang telah lama disimpan itu, tidak langsung dimakan, melainkan di bakar di atas perapian atau tungku api di dapur. Hal ini tidak sulit, karena, sebagian besar masyarakat gayo memiliki perapian di dapur sebagai tempat penghangat tubuh. Selain dibakar, lepat gayo juga dapat di goreng.
Lepat yang sudah mengeras itu pun menjadi lunak, dan begitu nikmat untuk dimakan, apalagi saat secangkir kopi panas menjadi pasangannya. Lengkap sudah rasa lepat gayo dan kopi.
Apa saja yang dibutuhkan dalam pembuatan lepat gayo, berikut bahan dan cara pembuatannya.
Bahan yang yang digunakan untuk membuat lepat ini antara lain adalah : Beras, Ketan putih, Kelapa yang  tua,  Gula merah, dan daun pisang muda
Cara Pembuatannya, Beras dan ketan ditakar terlebih dahulu beberapa liter (bambu) sesuai dengan kebutuhan. Lalu, beras dan ketan ini dicampurkan menjadi satu dan simpan kedalam karung ukuran kecil. Berikutnya beras dan ketan ini direndam kedalam air yang telah disediakan didalam ember atau baskom yang sesuai dengan kapasitas bahan yang dibutuhkan. Selanjutnya, tunggu beberapa jam sampai beras dan ketan yang sudah dicampurkan ini menjadi lembut agar mudah menumbuknya sampai menjadi tepung. Setelah itu tepung di ayak sehingga menjadi lebih halus.
Lepat ini merupakan suatu kesatuan dalam masyarakat Gayo. Terutama bagi kaum muda atau anak-anak gadis yang di kampung-kampung atau pedesaan. Apabila sudah mulai menumbuk beras ketan, anak-anak gadis ini mulai turun ke kampung menuju tempat penumbuk padi yang disebut dengan ”Jingki” atau penumpuk padi yang menggunakan kincir air pada waktu itu. Dulu setiap desa mempunyai satu jingki. Pada zaman serba modern ini orang sudah mulai menggunakan mesin penggiling tepung yang memakai Listrik atau dinamo tidak seperti dulu lagi.Namun sayang, kini, lepat gayo sudah jarang kita temukan di rumah-rumah. Masyarakat seperti enggan memasaknya karena alasan kerumitan dan proses pembuatannya. Ada juga sebagian masyarakat yang lebih memilih makanan siap seperti kue bolu dan lain-lain.
Padahal, tradisi lepat gayo menjadi bagian dari kehidupan masyarakat gayo itu sendiri, selain kopi. Mungkinkah lepat gayo akan hilang?

Dunia Kita